Oleh: Murdiansyah Eko Putra Dalam kurun waktu beberapa belakangan ini, masyarakat sering kali disajikan oleh berita-berita yang menimbulkan ...
Oleh: Murdiansyah Eko Putra
Dalam kurun waktu beberapa belakangan ini, masyarakat sering kali disajikan oleh berita-berita yang menimbulkan perpecahan. Banyak berita yang tidak benar atau sering disebut dengan hoak (bohong), yang membuat masyarakat mudah percaya tanpa disaring terlebih dahulu kebenarannya.
Di media sosial (medsos) seperti facebook, instagram, dan lain-lain, begitu banyak informasi-informasi yang tidak jelas, tujuannya hanya satu, agar masyarakat Indonesia terpecah belah, entah siapa otak utamanya, namun yang jelas apapun informasi yang ada sebaiknya masyarakat jangan percaya begitu saja, harus dicerna dan jangan ditelan secara mentah-mentah.
Diera digitalisasi sekarang ini, apalagi dengan kecanggihan teknologi, seperti Artifical Intelegensi (AI) yang merupakan buatan masia apapun bisa dilakukan, dengan satu jari saja apapun bentuk informasi atau bohong langsung tersebar di medsos. Maka masyarakat haruslah waspada dengan apa yang tersaji di medsos.
Banyak contoh kasus berita hoak yang sampai diranah hukum, bahkan pelaku berhasil ditangkap oleh polisi, karena membuat gaduh. Tak hanya itu, pelaku pun juga dijatuhi hukuman oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), karena perbuatannya.
Sebagai contoh, setelah terjadi bencana alam sering kali muncul informasi palsu, mengenai jumlah korban, bantuan yang dibutuhkan, atau peringatan bencana susulan yang tidak mendasar. Tentu saja hal ini dapat menghambat upaya bantuan dan menimbulkan kepanikan. Termasuk informasi palsu tentang dana bantuan sosial, yang mana masyarakat dengan ekonomi rendah percaya.
Dampak Dari Hoak
Dampak penyebaran hoak sangatlah luar biasa, seperti kekerasan dimasyarakat, perpecahan sosial hingga menurunnya kepercayaan publik, terhadap informasi di medsos.
Penyebaran berita bohong di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 28 ayat 1 yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi berita bohong dan menyesatkan.
Pasal 45 ayat (1) mengatur mengancam pidana bagi pelanggar. Pasal 28 ayat 1 yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Selain itu, kasus penyebaran hoak juga dapat dijerat dengan menggunakan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru seperti penerapan pasal 390 KUHP, untuk penipuan atau pasal-pasal lainnya yang relevan pada konteksnya. Pandangan Al-quran
Dalam Islam penyebaran berita bohong sangatlah dilarang karena, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan ini hukumnya haram. Al-quran Surat An-Nahl ayat 105, yang berbunyi, “Sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itu orang berdusta,” (QS. An-Nahl ayat 105).
Dalam ayat lainnya juga diterangkan pada Al-Surat Al-Baqarah ayat 10, yang berbunyi. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambahkan penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan pendusta,” (QS.Al-baqarah ayat 10).
Dari kedua ayat Al-quran tersebut, dalam diambil kesimpulan umat muslim diperintahkan untuk melakukan tabayun atau verifikasi sebelum menyebarkan berita apa pun terutama dari sumber yang tidak jelas kebenarannya.
Selain itu, dalam pandangan fiqh, penyebaran berita bohong termasuk fitnah, yang merusak kedamaian dan menciptakan ketegangan antar individu atau kelompok. Berita bohong atau hoak juga termasuk golongan dosa besar jariyah, jika berita bohong tersebut terus disebarkan dan dikonsumsi oleh berikutnya.
Allah SWT, mengancam bagi pelaku dan penyebar berita bohong akan mendapatkan azab yang amat pedih baik di dunia maupun di akhirat. Dan menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memproduksi dan menyebarkan berita bohong hukumnya haram.
Maka diharapkan, agar Kementrian Komunikasi dan Digital (Komdigi), terus mengawasi penyebaran berita hoak di medsos, demi menjaga keamanan negara, agar tetap kondusif. (***)
